Senin, 10 November 2014

Kakek Menyerahkan Diri, Setelah 10 Tahun Merambah TNLL



Palu- Setelah hampir 10 tahun melakukan aktivitas perambahan hutan di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah, Aminudin akhirnya menyerahkan diri kepada petugas BBTNLL dan bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku.
Polisi Kehutanan mengamankan alat-alat yang dipakai Aminudin bercocok tanam didalam kawasan Taman Nasional.Foto:AMAR SAKTI

Pria berumur  56 tahun ini, melakukan perambahan di kawasan Taman Nasional seputar Dusun Sadaunta, Desa Namo Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi. Aktivitas itu dilakukan sejak 2004  silam dan sampai saat ini, luas kawasan yang dirambah mencapai sekira 4 hektare, dan telah  ditanami kakao dan palawija.

Kepada pihak BBTNLL, Aminudin mengaku kalau dirinya terpaksa melakukan hal itu, untuk dapat memberi nafkah anak dan istrinya. “Dulu ada tanahku tapi digusur karena pelebaran jalan ke Kecamatan Lindu dan tidak  ada ganti rugi,” ujarnya.

Kepala Kepala Bidang Teknis konservasi BBTNLL Ahmad Yani, Rabu (5/11/2014), mengatakan, aktivitas perambahan di kawasan Taman Nasional itu telah dilakukan tersangka sejak 2004, bersama rekannya yakni Husen dan Mansur. Hanya saja, kata Ahmad setelah mendapat teguran dari petugas di lapangan (Polisi Kehutanan), maka Husen dan Mansur menghentikan perambahan itu.

 “Padahal kita sudah berikan teguran baik lisan maupun tertulis, tetapi Aminudin terus melakukan perambahan, hingga luas rambahannya mencapai empat hektare,” katanya.
Lahan berjarak sekitar 500 meter dari jalan poros Palu-Kulawi itu, awalnya ditanami tersangka tanaman palawija seperti kacang, jagung namun lama kelamaan dilahan tersebut juga telah ditanami coklat.

 Atas perbuatannya tersangka di jerat dengan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan ancaman minimal tiga tahun penjara. “Dengan adanya perambahan di kawasan Taman Nasional itu, bukan hanya melanggar undang undang tetapi yang terpenting adalah dapat mengakibatkan longsor sehingga dapat merugikan masyarakat lainnya,” pungkas Ahmad Yani.

Aminudin hanyalah sebagian kecil dari masyarakat yang telah merusak kawasan Taman Nasional, hanya karena alasan “perut”, jika memang benar karena alasan tersebut?Sebaiknya pemerintah mencarikan solusi, bagi masyarakat sekitar hutan sehingga kedepannya tidak ada lagi perambahan di dalam kawasan Taman Nasional.

Serta program-program bantuan dan pemberdayaan bagi masyarakat sekitar hutan, semestinya betul-betul menyentuh dan bermanfaat bagi masyarakat serta tepat sasaran, bukan malah “disunat” dan masuk ke kantong segelintir oknum. 

Jumat, 24 Oktober 2014

Misteri Naga Bermahkota Penghuni Danau Poso

PALU, Ada satu hal unik, yang hingga saat ini masih menjadi misteri bagi masyarakat yang bermukim disekitar Danau Poso, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah yaitu penampakan lampu danau atau bagi masyarakat setempat disebut silo ndano (silo=lampu, ndano=danau). Di danau yang memiliki luas sekitar 322 kilo meter persegi itu, konon kabarnya dihuni seekor binatang yang wujudnya mirip seeekor naga memakai mahkota. Binatang tersebut muncul dipermukaan danau hanya dalam waktu beberapa menit, kemudian tenggelam lalu muncul lagi ditempat yang berbeda dengan radius sekitar 300 meter dari tempat penampakannya pertama kali. Fenomena ini hanya terjadi dan dapat dilihat pada jam-jam tertentu yaitu antara pukul 18.30 hingga 22.00 (jika anda beruntung). 
Danau Poso pagi hari, dipotret dari Desa Taipa, Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso. FOTO: AMAR SAKTI

Menurut salah seorang warga di Desa Taipa (salah satu desa di pinggiran Danau Poso), mahkota diatas kepala naga tersebutlah yang mengeluarkan cahaya yang begitu terang, sehingga terlihat seperti cahaya lampu.
"Katanya, ada orang tua disini, waktu sedang mencari ikan malam  sempat dikejar lampu danau itu, begitu lampu itu dekat ternyata bentuknya kaya (mirip) naga besar dan diatas kepalanya ada mahkota berwarna emas dan mengkilat," kata Ribon, warga setempat.
Hingga saat ini, sebagian masyarakat pinggiran Danau Poso, khususnya Desa Taipa mempercayai bahwa lampu danau itu adalah penghuni atau penjaga danau yang berwujud seekor naga bermahkota, dan untuk membuktikan hal itu, tentu perlu adanya penelitian lebih jauh lagi. Semoga bermanfaat.!!!!
Sejumlah anak sedang asyik mandi sambil bermain di Danau Poso.FOTO: AMAR SAKTI

Minggu, 19 Oktober 2014

Monyet di Kab Siak, Riau

Iseng-iseng motret monyet yang sedang asyik bermain di hutan belakang hotel di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Tidak tahu ini jenisnya apa karena tidak sempat tanya (hehehe,maaf) yang pasti kawanan hewan primata ini, akrab dengan warga sekitar dan ini merupakan hiburan bagi para pengunjung hotel yang terletak tidak jauh dari kompleks Istana Siak itu.FOTO:AMAR SAKTI




Sabtu, 18 Oktober 2014

Danau Tambing atau Kalimpa'a BTNLL


Danau Kalimpa'a atau biasa disebut Danau Tambing memiliki luas
± 6 hektar.Danau tersebut merupakan salah satu danau yang terdapat di ketinggian
±1.700 Mdpl di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), Sulteng.
Di kawasan ini wisatawan baik luar maupun lokal bisa mengamati berbagai jenis burung endemik Sulteng, bagi masyarakat yang ingin melaksanakan pengamatan burung, disarankan untuk datang lebih pagi, karena pada idealnnya pengamatan burung dilakukan mulai pukul 05.00 hinngga pukul 10.00..Welcome.....!!!!!



Jumat, 17 Oktober 2014

REDD




Vegetasi yang terdapat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulteng. Foto:Amar Sakti
 
REDD, Bagaimanakah Kabarmu saat ini..????

Pada tahun 2012 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan RI bekerjasama dengan UN-REDD, yang merupakan kolaborasi badan-badan PBB terdiri dari FAO, UNEP dan UNDP, mengagas program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) atau biasa disebut pengurangan emisi karbon.
Menindaklanjuti program tersebut, pemerintahpun dengan gencarnya melakukan sosialisasi program yang katanya mampu mengurasi emisi karbon akibat dari degradasi hutan dan deforestasi itu.
Tak ketinggalan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), wilayah yang memiliki luas hutan mencapai 4.394.932 hektar atau 64,6 persen dari luas wilayah provinsi, pun menjadi salah satu wilayah yang dipilih pemerintah Norwegia selaku pendukung pendanaan untuk mengimplementasikan program REDD.
Sulteng merupakan provinsi ke delapan yang dipilih untuk mendukung program tersebut, provinsi lainnnya  yang menjadi wilayah percontohan implemetasi REDD yakni Aceh, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat.
Pada April 2014, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng mengukuhkan komitmetnya mengurangi kerusakan hutan, memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas tutupan hutan, untuk membantu menurunkan tingkat emisi rumah kaca dan memperlambat perubahan iklim.
Hal tersebut ditandai penandatanganan nota kesepakatan (MoU) oleh Gubernur Sulteng, Longki Djanggola bersama lima bupati dengan Badan Pengelola Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (BP-REDD+).

Kelima bupati itu, yakni Bupati Donggala Kasman Lasa, Bupati Tolitoli Moh Saleh Bantilan, Bupati Sigi Aswadin Randalembah, Bupati Tojo Unauna Damsik Ladjalani, serta Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu.

Gubernur Sulteng mengatakan, menyambut baik inisiatif itu, karena melalui kerjasama tersebut diutamakan strategi, pembuatan kebijakan dan implementasi program daerah. Dimana, Pemerintah Sulteng bisa mendapat manfaat peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan, meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), penyempurnaan data dan pengembangan infrastruktur.

Selain itu, Provinsi Sulteng pun akan mengupayakan pengembangan dan penyempurnaan kebijakan dan peraturan di tingkat daerah, untuk memberikan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD+.

Sementara Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo mengatakan, penandatanganan MoU dengan Provinsi Sulteng, karena Sulteng memiliki beberapa keistimewaan. Selain itu, tekad dari pemerintah Sulteng untuk tetap memelihara hutan dan memperbaiki kualitasnya.
Hal tersebut sejalan dengan misi BP REDD+ dalam mewujudkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 41 persen pada tahun 2020 melalui hutan yang sehat sebagai paru–paru dunia. “Sulteng memiliki luas lahan terbesar, Sulteng paling berbhineka tunggal ika dan daerah ini sangat unik,” katanya.

Saat ini, timbul pertanyaan dibenak penulis, bagimana kelanjutan program tersebut?kho gaungnya sudah tidak ada? jika memang penerapannya sudah berlangsung berlangsung, apa dampak yang diberikan dirasakan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan?ataukah pemerintah Norwegia membatalkan kucuran dana yang disiapkan (500.000 USD atau sekitar Rp5 triliun untuk persiapan implementasi REDD di Indonesia), karena kuatir dengan oknum-oknum korup yang akan memanfaatkan program tersebut?lucu juga yach kalau itu alasannya, hehehe

Salam....!!