Selasa, 22 Januari 2019

Flora di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)

Foto-foto dibawah ini hanya sebagian kecil jenis flora atau tumbuhan yang bisa ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah, tepatnya di seputaran Danau Tambing hingga ke wilayah Puncak Dingin. Bahkan ada beberapa jenis yang endemik. Namun untuk nama dan jenisnya, sekali lagi saya tidak bisa menguraikannya (maaf, bukan ahli tumbuhan). Saya hanya mencoba berbagi referensi melalui foto,seandainya ada yang ingin lebih mendalami lagi jenis2 tumbuhan yang ada di TNLL.     _Salam Lestari_   
Foto-by. Amar Sakti  




















Senin, 21 Januari 2019

Serangga Danau Tambing

Beberapa gambar/foto serangga yang menghuni seputaran Danau Tambing (Kalimpaa) di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Serangga-serangga itu hanya sebagian kecil dari ratusan bahkan ribuan jenis serangga yang ada di Danau Tambing atau wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Maaf, untuk nama dan jenisnya masih membutuhkan referensi dan penelitian lebih mendalam. So jaga terus kelestarian TNLL-Sulawesi Tengah.




 

Monyet atau Kera Endemik Sulawesi


Ini adalah beberapa foto Monyet Hitam atau Kera (Macaca) yang merupakan satwa endemik Sulawesi baik yang berkeliaran bebas maupun yang terpenjarakan (dikandang). Dari hasil penelitian, populasi satwa ini setiap tahunnya terus berkurang, akibat dari perburuan liar manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. Satwa-satwa ini ada yang dimanfaatkan dagingnya (dikonsumsi), maupun dikandangkan untuk menarik perhatian para pengunjung di lokasi-lokasi objek wisata. 

Macaca Maura tersebar di wilayah Sulawesi Selatan

Macaca Nigra atau Yaki tersebar di wilayah Sulawesi Utara

Macaca Nigra
Macaca Nigra

Senin, 02 Juli 2018

“Putri Biru” Penghuni Danau Kalimpaa?


Dibalik keeksotisannya ternyata Danau Kalimpaa atau biasa dikenal dengan sebutan Danau tambing
menyimpan beribu “misteri”. Salah satunya adalah soal kepastian kedalaman danau yang berada di ketinggian 1.700 Mdpl itu. Bagaimana tidak secara luasan, danau itu lebih tepat disebut telaga, namun kedalaman dari danau itu bukan seperti kedalaman telaga pada umumnya.
Selain itu, di kalangan para pecinta alam, Danau Tambing dikenal dengan cerita mistisnya, mau percaya atau tidak, kembali ke pribadi masing-masing.? Danau dengan dengan luas kurang lebih 6 hektare itu, berkembang cerita dihuni oleh seorang wanita cantik yang dikenal dengan sebutan ‘Putri Biru’.
Konon, ketika Danau Tambing belum seramai seperti sekarang ini atau sekira tahun 1990an, Putri Biru sering menampakan diri kepada beberapa pengunjung ( rata-rata anak PA= Pecinta Alam ) di danau itu, khususnya para wanita.
Awalnya para pendaki wanita akan melihat sang putri tengah asyik bermain di tengah danau, kemudian si pendaki akan mengalami kerasukan dan secara spontan raganya akan berlari ke arah danau.
Menurut pengakuan dari beberapa orang, si pendaki ataua anaka PA yang kerasukan itu melihat bahwa dia sedang dipanggil oleh sang putri yang parasnya sangat cantik, maka dibawah alam sadarnya, mereka yang kerasukan akan mengikuti panggilan itu dan hendak berlari ke tengah danau.
Peristiwa tenggelamnya warga Desa Sedoa di tahun 2012 dan salah seorang anggota Pecinta Alam di Balane pada Juni 2018 (tanggal 24), juga tak lepas dari cerita mistis tersebut, sebagian orang berargumen bahwa penunggu Danau Tambing sedang meminta korban.
Tim SAR Palu sedang mencari korban yang tenggelam di Danau Tambing pada 24 Juni 2018. FOTO:AMAR
Informasi yang diperoleh, kronologis korban yang tenggelam pada 2012 silam, kala itu korban sedang mencoba berenang menyeberangi danau tersebut, namun ketika berada ditengah danau korban tiba-tiba tenggelam, seperti ada yang menghisapnya ke dalam danau.
Begitu pun dengan cerita korban yang lain, saat itu korban sedang bermain rakit lalu tiba-tiba tercebur dan ketika tanganya meraih rakit, teman korban sempat melihat tubuh korban menggigil sangat kencang, tangan korban sempat meraih pinggiran rakit namun tidak lama kemudian langsung masuk ke dalam air.
Korban pertama ditemukan lima hari kemudian, sementara korban yang kedua ditemukan 3 hari kemudian, setelah dilakukan pencarian oleh tim SAR. Menurut rim SAR, korban ditemukan di kedalaman 5 meter dengan kondisi sebagian tubuh korban telah tertimbun lumpur.
Terlepas dari cerita mistis diatas, peristiwa tenggelamnnya orang di Danau Tambing, harusnya dijadikan instropeksi bagi para pengunjung, khususnya kalangan pecinta alam di Sulteng yang “mungkin” sudah paham betul dengan kondisi di danau itu.
Larangan mandi atau berenang ataupun bermain (rakit atau perahu) di danau itu, baiknya diindahkan. Karena situasi di lokasi itu, sangat sulit diprediksi, bahkan suhu airnya yang dingin dapat membuat suhu tubuh manusia bisa berubah drastis dan terserang hipotermia.  
Menyikapi dua kejadian itu, agar tidak terulang lagi, pihak berwenang dalam hal ini pengelola Danau Tambing disarankan lebih tegas soal aturan, khususnya larangan mandi dan semacamnya di danau. Jika memasang papan larangan di sekitar danau, baiknya sejalan dengan pengawasan intens petugas lapangan.
Selain itu, harus ada sanksi tegas bagi yang melanggar aturan selama berada di Danau Tambing atau selama berada di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu pada umumnya. Pengunjung pun diminta bisa menjaga kebersihan dan kelestarian Danau Tambing, jangan mentang-mentang bayar tiket (hehehe),terus berbuat seenaknya. Salam Lestari..!!!

Senin, 02 April 2018

Malam itu di Kaki Gunung Nokilalaki


Malam itu di Kaki Gunung Nokilalaki
Pernahkah anda melakukan pendakian, baik pendakian sendiri maupun kelompok tanpa memberitahu atau izin terlebih dahulu kepada orang tua (ortu), keluarga, pacar ataupun teman anda?
Oleh: Amar Akwila
Sebelumnya, saya akan menceritakan sedikit pengalaman yang saya alami atau tepatnya peristiwa yang saya saksikan langsung ketika seorang anak berupaya membujuk ortunya agar mendapat izin mendaki bersama teman-temannya.
Cerita ini terjadi di seputar kaki Gunung Nokilalaki (2535 Mdpl), Desa Tongoa Kecamatan Palolo, Kabupatan Sigi, pada 10 Maret 2018 lalu. Saat itu, saya bersama istri hendak melakukan perjalanan ke Danau Tambing, dan seperti biasanya saya singgah untuk beristirahat di salah satu warung di kaki Gn.Nokilalaki.
Lalu, tiba-tiba terlihat seorang pria remaja berumur sekira 16 tahun hilir mudik di seputar warung itu, sesekali dia keluar tidak lama berselang masuk lagi tanpa menegur penghuni rumah lainnya maupun ibunya si pemilik warung yang terlihat sedang sibuk mengurus adiknya yang masih bayi terbaring di tempat tidur.
Setelah beberapa kali keluar masuk rumah, si anak pun langsung berucap sepatah kata kepada ibunya “Ma saya mau mendaki”, ibunya pun sontak kaget dan menjawab “Haaa, dengan siapa? So jam berapa ini?. Saya yang mendengar percakapan antara ibu dan anak itu, langsung menoleh jam di tangan saya yang saat itu menunjukan pukul 20.15 wita.
Si anak pun menjawab “Rame kita, dengan teman-teman, belum jam berapa juga ini, cuma di pos I juga ma,” kata si anak. Ibu  pun langsung mengeluarkan kata-kata “Coba-coba kau naik, kalau tidak saya kase izin, kenapa-kenapa kau di jalan itu. Boleh naik kalau sudah selesai ujian, kalau sekarang ini mama tidak kase kau naik,” kata si ibu.
“Tolong ma, kase izin saya naik, tidak lama kita disana (gunung),” namun pernyataan itu tidak dijawab ibunya. Anak itu pun berlalu keluar warung, tidak lama berselang dia kembali lagi untuk membujuk ibunya, namun kali ini sudah dengan menggendong tas ransel kira-kira berukuran 65 liter. Si ibu pun bertanya “Tasnya siapa lagi itu?, lalu dijawab si anak “Tasnya temanku, saya mau isi barang-barang, pokoknya saya mauk naik ini ma,” ujar remaja itu dengan raut muka memelas.
Dengan nada suara yang sedikit menurun dari sebelumnya, si ibu bertanya “jadi apa semua yang mau kau isi di tas besar begitu, berapa hari kamu disana?” si anak menyahut  “Cuma satu malam ma,” lalu sambung si ibu “Cuma satu malam kenapa besar sekali tas kau bawa, mana saya lihat bajumu,” kata si ibu, sambil mengecek isi tas tersebut.
Setelah memastikan kondisi anaknya, sang ibu pun akhirnya memberi izin si anak untuk melakukan pendakian pada malam itu bersama teman-temannya.
Dari cerita diatas, kita bisa mengambil hikmah bahwa izin dari ortu, keluarga, teman bahkan mungkin pacar itu sangatlah penting dan wajib dilakukan oleh setiap orang yang ingin melakukan pendakian.
Mungkin bagi sebagian orang hal itu tidak perlu dilakukan asalkan peralatan pendukung  untuk melakukan pendakian sudah safety. Memang tidak ada aturan baku yang menyatakan, bahwa izin terhadap orang-orang terdekat itu wajib dilakukan setiap pendaki, namun yang harus kita pertimbangkan jika terjadi sesuatu terhadap kita saat melakukan pendakian, maka sudah tentu orang-orang terdekat itulah yang akan dihubungi atau menghubungi tim penyelamat untuk memastikan kondisi kita selama di gunung.
Olehnya, ketika akan melakukan pendakian wajib memberikan informasi meskipun tidak terlalu detail kepada orang-orang terdekat kita. Yang terpenting informasi yang diberikan yakni mengenai perkiraan waktu kita selama mendaki hingga kembali lagi ke rumah dan tempat kita melakukan pendakian.
Terkadang para pendaki mengabaikan yang kecil atau sifatnya sepele, namun tanpa disadari itu adalah hal yang sangat penting, ketika seorang pendaki mengalami ‘kendala’ dalam pendakian. 
Jadi, izin dari orang-orang terdekat bagi para pendaki,perlukah???????


Senin, 20 November 2017

Tarsius

Tarsius, Sahabat Petani yang Terlupakan

Mungkin binatang satu ini belum banyak yang tahu, bahkan petani atau pekebun pun mungkin masih kurang yang kenal dengan primata terkecil bernama Tarsius. Saya hanya mencoba menceritakan sedikit tentang apa yang menjadi makanan dari hewan endemik Sulawesi itu.
Kebetulan, saya pernah diajak bergabung dalam tim oleh peneliti asal Jerman, Doktor Stefan Merker, untuk meneliti Tarsius di wilayah Sulawesi Tengah pada tahun 2007 lalu. Disitu saya baru mengetahui sedikit banyak mengenai Tarsius dan penyebarannya di Sulawesi Tengah.
Masyarakat berbagai daerah di Sulawesi Tengah tidak mengenal primata ini dengan nama Tarsius, melainkan masing-masing daerah menyebut dengan nama lokal, seperti di wilayah Besoa, Lore (Bada), Kulawi dan sekitarnya dikenal dengan sebutan Tanggkeda atau Tangkahi,  di wilayah Poso disebut Tangkasi, sementara di wilayah Paneki, Desa Pombewe, Kabupatan Sigi, hewan ini dikenal dengan sebutan Toga.
Apa pun sebutannya, yang perlu digarisbawahi adalah hampir seluruh daerah yang kita datangi untuk melakukan penelitian, rata-rata masyarakat setempat menyebut Tarsius adalah hama bagi para petani, khususnya yang memiliki kebun coklat, sehingga perburuan terhadap hewan ini pun tak terelakan.
“Ohhh so binatang ini yang sering makan-makan coklat,” kata salah seorang warga, ketika Stefan memperlihatkan foto Tarsius.
Tentunya pernyataan warga tersebut langsung mendapat sanggahan dari Stefan, yang menegaskan bahwa Tarsius tidak makan buah-buahan, melainkan serangga dan sejenisnya. Saya pun ketika pertama kali ikut membantu tim penelitian itu, menganggap makanan Tarsius adalah buah-buahan, jika melihat dari bentuk tubuhnya yang kecil. 
Warga menganggap Tarsius adalah hewan sebangsa Tupai, karena bentuk tubuhnya yang mungil sehingga dianggap sebagai hama dan merusak tanaman coklat, seperti Tupai yang memakan buah coklat.
Akhirnya, saya pun tahu dan saksikan langsung bahwa makanan Tarsius adalah serangga seperti belalang, selain itu Tarsius juga memakan ular yang berukuran kecil. Tarsius yang mulai beraktivitas mencari makan, sejak pukul 18.00 wita (petang) itu kebanyakan menyisir pinggiran-pinggiran kebun yang banyak semaknya, untuk mencari serangga.
Tentunya keberadaan tarsius adalah penyeimbang dalam suatu ekosistem. Bayangkan, tidak mungkin petani atau pekebun setiap hari melakukan perburuan terhadap belalang yang kita kenal merupakan salah satu hama daun, tentunya hanya keberadaan populasi Tarsius lah yang dianggap mampu menyeimbangkan hal itu.

Olehnya, saya ingin mengajak kita untuk terus menjaga populasi Tarsius, pemerintah juga diharapkan turut serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa Tarsius bukanlah hama bagi petani atau pekebun. Tarsius adalah sahabat petani yang terlupakan. Sekian!Semoga Bermanfaat. 

Kamis, 27 Juli 2017

Tarsius, BKSDA Sulawesi Tengah, Polisi



Polisi Serahkan Satwa Endemik ke BKSDA
Salut kepada aparat di Kepolisian Resor (Polres) Poso, Sulawesi Tengah, khususnya kepada Kapolres Poso AKBP Bogiek Sugiyarto yang menyerahkan satu ekor Tarsius yang merupakan satwa endemik Sulawesi  kepada pihak BKSD Sulteng, yang diterima Bonifasius selaku petugas BKSDA pada Selasa 04 Juli 2017.
Satwa endemik itu di dapat dari salah seorang warga yang menyerahkan sendiri kepada Kapolres Poso,dan setelah itu Kapolres Poso menyerahkan kepada pihak BKSDA untuk di lindungi dan diamankan serta dikembalikan ke habitat aslinya.
Menurut data dari BKSDA populasi tarsius, primata terkecil di dunia yang hidup di hutan-hutan Sulawesi Tengah semakin berkurang, diakibatkan perburuan dan warga yang membuka lahan baru, sehingga habitat tarsius menjadi terganggu.
“Kami menghimbau bagi masyarakat yang mengetahui, melihat, atau mempunyai satwa yang dilindungi, agar segera melaporkan kepada BKSDA, sehingga bisa dievakuasi dan melepasliarkan ke habitat asli dari satwa itu,” kata Kapolres Poso.
Penyerahan tarsius ini menunjukan masih adanya kesadaran warga yang peduli akan habitat di Sulawesi Tengah, khususnya satwa endemik daerah ini.